Kamis, 23 Juni 2011

Pelajaran dari Bencana













Bumi ini sangat rentan terkena guncangan bencana, angin topan, gunung meletus, badai, tsunami, hujan, dan sebagainya yang bisa datang menyerang kapan pun, kepada siapa pun, dan di manapun. Bencana-bencana tersebut bukan untuk dilawan, melainkan untuk diambil hikmah dan pelajarannya.

Sekalipun teknologi dan peradaban sudah maju pesatnya, namun tak bisa menolak datangnya bencana. Bencana memang bisa diprediksi, sebagaimana tsunami yang baru saja terjadi di Jepang, namun tak bisa diperkirakan kapan tepatnya datang bencana tersebut.

Bumi ini memang sengaja diciptakan oleh Allah untuk manusia. Kemudian, Allah hendak menguji setiap penghuni bumi dengan berbagai ujian dalam berbagai bentuk dan macamnya dengan maksud untuk mengetahui seberapa dalam keimanan dan ketakwaannya.

"Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah Arasy-Nya (Singgasana-Nya) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya." (QS. Huud [11] : 7).

Cobaan dan ujian terhadap keimanan manusia itu sangat bermacam-macam bentuknya. Di balik ujian tersebut terselip pesan yang ingin disampaikan yakni supaya manusia sadar akan kemahakuasaan Allah atas segenap isi di bumi ini. Dan segala penciptaan-Nya itu niscaya akan kembali kepada-Nya kelak.

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati; Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan." (QS al-Anbiyaa', [21] : 35), Allah mengatakan bahwa Dia menguji manusia baik melalui kejadian-kejadian yang baik maupun buruk.

Banyaknya orang yang menjadi korban bencana merupakan teka-teki ujian itu. Manusia harus selalu ingat bahwa Allah adalah Hakim Yang Mahatahu dan "diberi keputusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil." (QS az-Zumar, [39] : 75).

Manusia harus mampu mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian ini. Sesungguhnya, Allah tidak menciptakan apa pun tanpa tujuan; setiap bencana merupakan peringatan bagi umat manusia, dengan maksud untuk menyelamatkan manusia dari pembangkangan mereka. Dalam Alquran, Allah berfirman bahwa tak ada yang terjadi di muka bumi ini tanpa izin-Nya:
"Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS at-Taghaabun, [64] : 11).

Pelajaran lain yang harus diambil dari bencana alam adalah bahwa manusia yang menganggap dirinya memiliki kekuatan di atas muka bumi, menyadari bahwa ia sesungguhnya lemah dan benar-benar tidak memiliki kekuatan untuk mengatasi bencana yang terjadi dengan seketika atas kehendak Allah. Manusia tak dapat menolong dirinya sendiri ataupun orang lain. Tentu saja Allahlah yang Mahakuasa. Ini dinyatakan dalam ayat berikut:

"Jika Allah menimpakan suatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Menguasai atas segala sesuatu." (QS al-An'aam, [6] : 17) Semoga kita bisa banyak belajar dari setiap bencana yang menimpa. Wallahu a'lam bish shawab.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/04/07/lj9dbr-pelajaran-dari-bencana

Shalawat, Obat Hati yang Gelisah













Bagi orang yang beriman, musibah sudah menjadi bagian dari hidupnya. Bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa terpisahkan, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al Ankabut: "Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan: " kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji
lagi?"

Hidup manusia ini sesungguhnya adalah ujian. Orang yang kaya dicoba dengan hartanya, apakah dia membelanjakan di jalan yang benar atau tidak. Yang berilmu diuji dengan ilmunya, apakah dia memanfaatkan ilmu yang telah Allah SWT anugrahkan kepadanya atau malah menyembunyikannya, bahkan Si miskin pun dicoba dengan kemiskinannya apakah dia sabar atau tidak. Maka tidak ada orang mu'min yang terlepas dari ujian Allah SWT.

Penyikapan manusia atas ujiannya adalah cara bagaimana Allah SWT mengetahui mana yang tetap pada jalan-Nya dan mana yang berbelok dari-Nya. Bagi orang yang tetap di jalan-Nya, hidupnya akan selalu diliputi dengan rasa nyaman dan hatinya selalu tentram, karena dia yakin, semua yang ditimpahkan kepadanya adalah yang terbaik baginya menurut Allah SWT. Dia selalu berbaik sangka (khusnudzon).

Sebaliknya orang yang selalu berburuk sangka. Hidup orang ini selalu diliputi rasa gelisah, kurang bersyukur, malah kadang sampai kufur. Nau'zubillah min dzalik.

Tidak mudah memang untuk selalu menerima keputusan yang telah Allah SWT tentukan untuk kita, kecuali orang-orang yang sudah benar-benar kuat imannya. Namun bukan berarti tidak mungkin. salah satu caranya dengan membiasakan diri membaca shalawat.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW, "Barangsiapa yang mendapatkan kesulitan, maka perbanyaklah membaca shalawat untukku, karena sesungguhnya ia dapat mengatasi berbagai masalah dan menghilangkan kegelisahan".

Dan ketika sudah membacanya berkali-kali, maka akan terasa sekali manfaatnya. Hati yang sebelumnya gundah gelisah, akan terasa tentram dan lapang. Wallahu 'alam bish shawab.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/04/08/ljb8yi-shalawat-obat-hati-yang-gelisah

Bekerja dengan Hati













Bekerja adalah salah satu aktivitas yang disukai oleh Allah SWT, "Sesungguhnya Allah Taala senang melihat hamba-Nya bersusah payah (lelah) dalam mencari rezeki yang halal." (HR ad-Dailami). Bahkan, Rasulullah SAW menempatkannya di deretan kegiatan yang wajib dilakukan oleh umatnya, "Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardu (ibadah mahdhah)." (HR ath-Thabrani dan al-Baihaqi).

Bekerja adalah upaya menjemput rezeki Allah SWT. Tujuannya agar kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Oleh karenanya, Rasulullah SAW mengajarkan prinsip-prinsip dalam menjemput rezeki. Yakni, yakin bahwa setiap manusia mendapat bagian rezeki; selalu memperbaiki cara-cara dalam menjemput rezeki; bersabar dengan rezeki yang belum kunjung datang; tidak menempuh cara-cara yang menyimpang dari sunatullah.

Dalam proses mencari rezeki, seseorang akan menghadapi berbagai kendala dan rintangan. Rintangan terberat adalah ketika hati nurani tak lagi disertakan dalam bekerja, dan lebih memilih menuruti hawa nafsu. Ketika nafsu lepas kendali, rasa malu untuk melakukan keburukan tak ada lagi, segala macam cara dihalalkan, norma dan etika tak lagi penting, bahkan iman akan mudah dikorbankan. "Sesungguhnya sebagian ajaran yang masih dikenal umat manusia dari perkataan para nabi adalah 'jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu'." (HR Bukhari).

Bila kondisi semacam ini terus berlanjut, akan timbul perilaku-perilaku impulsif yang bisa menyeret pada kepribadian yang menyimpang (personality disorder). Tidak ada kecemasan ketika melakukan kejahatan dan seusai berbuat tak tebersit perasaan bersalah (guilty feeling), yang lebih ironis perbuatan jahatnya dianggap sesuatu yang wajar.

Perilaku seperti itu merugikan banyak pihak dan diri sendiri. Tidak saja lahan pekerjaan dan kepercayaan orang lain kepadanya yang terancam lenyap, tapi kerugian yang amat besar telah menantinya yaitu bangkrutnya kekayaan hakiki (hati nurani). Dan, pada saat hati nurani telah mati, tak ada lagi ukuran untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, setiap tindakan cenderung melampaui batas, perbuatan baik dan ketaatan menjadi sesuatu yang remeh, tak sadar bahwa hidup di dunia dalam genggaman Zat Pencipta yang setiap saat siap untuk dicabut, dan lupa bahwa kehidupan dunia menjadi penentu nasib di kehidupan akhirat yang kekal.

Mengelola nafsu menjadi syarat penting dalam bekerja maupun dalam bertindak apa pun. Kejahatan dan keterpurukan selalu terinspirasi oleh nafsu yang liar. Karena pentingnya nafsu untuk dikelola, Abdullah bin Amr bin Ash mengingatkan wasiat Rasulullah SAW, "Tidak beriman seorang di antara kalian, sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa."

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/04/10/ljf4lv-bekerja-dengan-hati

Hidup Sederhana













"Tidak bakal susah orang yang hidup sederhana." Demikian sabda Nabi Muhammad SAW dalam riwayat Imam Ahmad. Hadis ini hanyalah salah satu dari sekian banyaknya sabda Nabi yang menyerukan pentingnya hidup sederhana. Dan, prinsip kesederhaan ini tidak hanya terucap melalui kata-kata tetapi juga mengejawantah dalam laku keseharian beliau.

Ibnu Amir pernah memberikan kesaksian perihal hebatnya kesederhanaan dan ketawadhuan Rasulullah, di tengah kedudukannya yang luhur di antara umat manusia. "Aku pernah melihat Rasul melempar jumrah dari atas unta tanpa kawalan pasukan, tanpa senjata, dan juga tanpa pengawal."

Menurut Ibnu Amir, Rasul menaiki keledai berpelanakan kain beludru dan dibonceng pula. Sering menjenguk orang yang sakit, mengantar jenazah, menghadiri undangan dari seorang budak, mengesol sandalnya, menambal pakaiannya, dan mengerjakan pekerjaan rumah bersama istri-istrinya.

Pernah suatu ketika, Rasulullah bertemu dengan seorang laki-laki yang kemudian gemetar karena kewibawaan beliau. Melihat hal itu, Muhammad SAW berujar untuk menenangkan laki-laki tersebut, "Tenanglah aku bukanlah seorang raja, namun aku hanyalah anak dari wanita Quraisy yang makan dendeng."

Saat dia berkumpul dan berbaur dengan para sahabatnya, tak tebersit sedikit pun sikap untuk menonjolkan dirinya. Sehingga, manakala ada seorang tamu asing datang ia tak bisa membedakan Rasulullah dengan para sahabatnya. Ini memaksanya bertanya yang mana Rasulullah.

Bayangkan, seorang tokoh publik kelas dunia-akhirat sulit dikenali lantaran kesederhanaan dan ketawadhuannya. Memilih hidup sederhana tidak identik dengan hidup miskin, atau memerosokkannya dalam kemiskinan, sebagaimana tecermin dalam hadis di atas. Sementara itu, di kalangan sahabat kita mengenal Mush'ab bin Umair.

Pemuda ini kaya raya, tampil trendi, dan serbamewah namun ketika tersibghah dengan nilai-nilai Islam, ia menjadi pemuda yang sederhana. Demikian Islam menginspirasi umatnya, yakni sederhana dalam berbagai hal, mulai dari cara berpakaian, bertempat tinggal, berkendaraan, dan sebagainya.

Bukan sebaliknya, bergaya hidup secara berlebih-lebihan, glamour, boros, dan bermegah-megahan. Allah berfirman, "Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (al-A'raf: 31).

Mengapa demikian, karena terbukti gaya hidup mewah, berlebih-lebihan, konsumtif, dan boros, seringkali menyeret pelakunya untuk melakukan hal apa pun demi memenuhi segenap nafsu dan ambisinya, serta memuaskan gengsinya. Entah dengan cara korupsi, mencuri, menipu, dan tindakan negatif lainnya. Wallahu a'lam bish-shawab.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/04/11/ljh2ty-hidup-sederhana

Istana Sang Khalifah













Seorang utusan Romawi tengah mencari istana Khalifah Umar bin Khattab untuk sebuah urusan. Setelah beberapa saat tak menemukan istana tersebut, ia akhirnya bertanya kepada orang-orang. Saat ia menanyakan di mana istananya, mereka menjawab: "Ia tidak punya istana." Lalu, ia bertanya di mana bentengnya. "Tidak ada," jawab mereka.

Kemudian, mereka menunjukkan rumah Sang Khalifah yang terlihat seperti rumah kaum tak berpunya. Lantas, ia mendatanginya dan menanyakan keberadaan Amirul Mukminin. Alangkah terkejutnya ia saat mendengar jawaban dari keluarga Umar: "Itu dia di sana sedang tertidur di bawah pohon."

Tentu bukan tanpa alasan bagi seorang dengan gelar Amirul Mukminin (pemimpin kaum Mukmin) yang kekuasaannya terbentang dari Mesir sampai Irak untuk memilih sebatang pohon sebagai istananya.

Selain agar rakyat dapat dengan mudah menemui dan mengadu padanya, juga karena ia mempelajari hal itu dari Sang Teladan, Nabi Muhammad SAW.

Dahulu, Umar pernah menemui Nabi SAW ketika beliau bangun dari pelepah kurma tempatnya berbaring. Umar melihat guratan pelepah kurma membekas di punggung Nabi SAW. Ia pun menangis. Dengan lembut Nabi SAW bertanya: "Apa yang membuatmu menangis?" Umar menjawab: "Wahai Rasulullah, sungguh Raja Kisra dan Kaisar Romawi dalam keadaan (kafir). Mereka (bergelimang harta), sedang Engkau ialah Utusan Allah (tetapi tidak memiliki apa-apa)." Dengan bijak Nabi SAW bersabda: "Wahai Umar, tidakkah engkau rida jika mereka mendapat dunia dan bagi kita akhirat?" Pelajaran ini tidak pernah dilupakan oleh Umar seumur hidupnya.

Umar bukannya tidak mampu untuk membangun istana atau hidup mewah bak seorang raja. Tetapi, Umar lebih memilih kesederhanaan sebagai perhiasan dirinya.

Bagaimana tidak, ia adalah khalifah yang memperoleh gaji hanya sebatas kebutuhan pokoknya, memakan roti yang hampir mengeras, dan memiliki dua belas tambalan pada pakaian lusuhnya. Ia adalah pemimpin yang bergantian mengendarai keledai bersama budaknya dalam penaklukkan Kota Al-Quds.

Sungguh, Umar telah mengajarkan kepada kita bahwa menjadi pemimpin tak harus bergelimang fasilitas. Maka, ia pun tidak pernah menuntut berbagai fasilitas untuk tugas kepemimpinannya. Karena ia tahu, fasilitas-fasilitas yang ia nikmati tidak lain hanyalah ujian yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Wallahu 'alam bish shawab.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/04/12/ljivh5-istana-sang-khalifah

Sisi Romantis Rasulullah SAW













Syariat Islam diturunkan melalui tangan Muhammad SAW. Bukanlah malaikat, melainkan beliau seorang manusia biasa seperti kita. “Katakanlah, Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. ( QS Al Kahfi [18] : 110).

Dengan tuntunan wahyu tersebut Rasulullah SAW dinobatkan oleh Allah SWT sebagai suri tauladan. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS Al Ahzab [33] : 21).

Oleh karenanya dalam segala aspek kehidupan Rasullah saw menjadi contoh baik bagi kita. Termasuk dalam masalah rumah tangga.

Layaknya manusia biasa Rasulullah SAW mempunyai sisi romantis. Beliau sangat pandai dan baik dalam memperlakukan istri-istrinya.

Di antara sisi romantis Rasulullah saw, beliau mencium istrinya sebelum keluar untuk shalat. Dari 'Aisyah Radhiallaahu 'anha, “Bahwa Nabi SAW mencium sebagian istrinya kemudian keluar menunaikan shalat tanpa berwudhu dahulu”. (HR Ahmad).

Hal ini menunjukan bagaimana Rasulullah SAW mengekspresikan cinta kepada istrinya dengan sederhana dan bersahaja. Hadis ini juga memperlihatkan tentang kelembutan Rasulullah SAW dalam memperlakukan istri-istrinya.

Rasulullah SAW pun senang memanjakan istrinya. Dari 'Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata, “Aku pernah mandi dari jinabat bersama Rasulullah saw dengan satu tempat air, tangan kami selalu bergantian mengambil air.” (HR Mutafaqun ‘alaih).

Dalam riwayat Ibnu Hibban menambahkan, “Dan tangan kami bersentuhan”.

Dalam memperlakukan istri-istrinya Rasulullah SAW bukan saja dengan kelembutan. Tak segan-segan Rasulullah saw mengerjakan perkerjaan mereka. Di antaranya mencuci pakaian.

'Aisyah umul mukminin mengisahkan, “Rasulullah SAWpernah mencuci pakaian bekas kami, lalu keluar untuk menunaikan shalat dengan pakaian tersebut, dan saya masih melihat bekas cucian itu." (HR Bukhari Muslim).

Bayangkahlah! Muhammad adalah seorang nabi dan rasul. Manusia yang derajatnya ditinggikan Allah SWT. Beliau juga seorang pemimpin umat. Namun tak segan mengerjakan perkerjaan rumah yang biasa dikerjakan oleh perempuan; mencuci baju.

Bukan hanya itu, saat itu masyarakat menganggap perempuan kelas kedua. Bahkan memiliki anak perempuan dianggap sebagai suatu aib. Dan perempuan dianggap najis ketika haid, seperti yang diyakini orang Yahudi. Sehingga tidak berkenan makan bersama dengan wanita haid.

Rasulullah SAW mengajarkan untuk memperlakukan dengan istimewa. Hal itu ditunjukan ketika nabi Muhammad SAW tidak sungkan mandi dari sisa air istrinya. Dari Ibnu Abbas, “Bahwa nabi saw pernah mandi dari air sisa Maimunah." (HR Muslim).

Semua hal yang dilakukan oleh Rasulullah menunjukan bahwa Rasulullah sangat memahami psikis dan perasaan wanita. Rasulullah SAW pun menghargai persamaan. Wallahu ‘alam bi showwab.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/04/14/ljn4pg-sisi-romantis-rasulullah-saw

Rabu, 22 Juni 2011

Kerendahan Hati Sang Kepala Negara













Beberapa kali Abdurrahman bin Auf menyaksikan Umar shalat sunah di rumahnya. Yang menarik perhatiannya, bukanlah tata cara shalatnya, melainkan sajadah yang biasa digunakan Umar. Seorang kepala kegara dengan wilayah kekuasaan yang membentang luas sampai Mesir, berhasil mengalahkan dua imperium besar, Romawi Timur dan Persia, justru shalat di atas sajadah yang usang. Timbul rasa bersalah dalam hati Abdurrahman. Ia ingin membelikan sajadah baru yang mahal dan indah untuk sang Amirul Mukminin.

Tetapi, Abdurrahman ragu, apakah Umar mau menerimanya. Dia tahu persis watak Umar yang tidak mau diberi hadiah apa pun walau hanya selembar sajadah.

Abdurrahman akhirnya memberikan sebuah sajadah melalui istri Umar, Ummu Abdillah. Melihat sajadah baru, Umar memanggil istrinya dan menanyakan siapa yang memberi sajadah ini. "Abdurrahman bin Auf," jawab istrinya. "Kembalikan sajadah ini kepada Abdurrahman. Saya sudah cukup puas dengan sajadah yang saya miliki." Begitulah watak Umar bin Khattab. Tidak hanya adil dan bijaksana, beliau dikenal dengan sifat zuhudnya, hidup sederhana. Tidak hanya untuk ukuran seorang kepala negara, bahkan bagi orang biasa sekalipun.

Suatu hari, Umar melakukan perjalanan dinas mengunjungi satu provinsi yang berada di bawah kekuasaannya. Gubernur menjamu Umar makan malam dengan jamuan yang istimewa, sebagaimana lazimnya perjamuan untuk kepala negara. Begitu duduk di depan meja hidangan, Umar kemudian bertanya kepada sang gubernur, "Apakah hidangan ini adalah makanan yang biasa dinikmati oleh seluruh rakyatmu?"

Dengan gugup, sang gubernur menjawab, "Tentu tidak, wahai Amirul Mukmini. Ini adalah hidangan istimewa untuk menghormati baginda." Umar lantas berdiri dan bersuara keras, "Demi Allah, saya ingin menjadi orang terakhir yang menikmatinya. Setelah seluruh rakyat dapat menikmati hidangan seperti ini, baru saya akan memakannya." Itulah sifat Umar bin Khattab, seorang kepala negara yang zuhud.

Di lain kesempatan, sehabis shalat Zhuhur, Umar meminta selembar permadani Persia yang indah untuk dibawa pulang ke rumahnya. Tentu saja, hal ini membuat para sahabat heran. Hari itu, Umar bin Khattab membagi harta rampasan perang yang dibawa oleh pasukan Sa'ad bin Abi Waqqash yang berhasil menaklukkan Kota Madain, ibu kota imperium Persia.

Pakaian kebesaran Kisra lengkap dengan mahkotanya diberikan oleh Umar kepada seorang Badui yang kemudian memakainya dengan gembira. Satu demi satu barang-barang berharga dibagi-bagikan oleh Umar kepada para sahabat dan masyarakat banyak waktu itu. Yang tersisa hanya selembar permadani indah. Umar pun memintanya. "Bagaimana pendapat kalian, jika permadani ini aku bawa pulang ke rumahku?" Gembira bercampur kaget, para sahabat tergopoh-gopoh menyetujuinya. "Tentu saja wahai Amirul Mukminin, kami setuju sekali Anda membawanya pulang."

Ketika tiba waktu Ashar, Umar membawa kembali permadani tersebut. Kali ini, permadani itu sudah dipotong-potong menjadi bagian kecil-kecil, dan Umar membagikan kepada beberapa sahabatnya. Dengan senyum, Umar berkata, "Hampir saja saya tergoda oleh permadani indah ini." Masya Allah, begitulah Umar, sang kepala negara.