Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “Coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:
1. Mengenal calon pasangan hidup
Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita sangsikan.
Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.
Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا
“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan 3/163-164)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
Ada beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki untuk memerhatikannya:
- Wanita itu shalihah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.) dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
-Wanita itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ
“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 3227, Abu Dawud no. 1789, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 1784)
-Wanita tersebut masih gadis1, yang dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna.
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika memberitakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia telah menikah dengan seorang janda, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ؟
“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”
Namun ketika Jabir mengemukakan alasannya, bahwa ia memiliki banyak saudara perempuan yang masih belia, sehingga ia enggan mendatangkan di tengah mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka sehingga tak bisa mengurusi mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memujinya, “Benar apa yang engkau lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan Muslim no. 3622, 3624)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ
“Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena mereka lebih segar mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 623)
2. Nazhar (Melihat calon pasangan hidup)
Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي. فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رًأْسَهُ
“Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)
Hadits ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)
Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، يَعْنِي الصِّغَرَ
“Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meminang seorang wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
“Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).” (HR. An-Nasa`i no. 3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 96)
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “Dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata ia membatalkan khitbahnya karena setelah nazhar ternyata ia tidak menyenangi si wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18)
Bila nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214)
Sahabat Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya kepada Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Kata Muhammad, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا
“Apabila Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk meminang seorang wanita maka tidak apa-apa baginya melihat wanita tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Boleh melihat wanita yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ
‘Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa baginya melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat).” (HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang shahih, lihat Ash-Shahihah 1/200)
Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan dan tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur ulama.
Adapun Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat darinya menyatakan, “Aku tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu karena khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat.” Dan dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat wanita yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita masih belum jadi istrinya. (Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar 2/372, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)
Haramnya berduaan dan bersepi-sepi tanpa mahram ketika nazhar (melihat calon)
Sebagai catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar tidak boleh lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat) dengan si wanita. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259)
Karenanya si wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya, baik saudara laki-laki atau ayahnya. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul Qaththan Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)
Batasan yang boleh dilihat dari seorang wanita
Ketika nazhar, boleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa tampak di depan mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya, seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki dan semisalnya. Karena adanya hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَي مَا يَدْعُوهُ إِلىَ نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
“Bila seorang dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu melihat dari si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia melakukannya.” (HR. Abu Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 99)
Di samping itu, dilihat dari adat kebiasaan masyarakat, melihat bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap memberatkan atau aib. Juga dilihat dari pengamalan yang ada pada para sahabat. Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika melamar seorang perempuan, ia pun bersembunyi untuk melihatnya hingga ia dapat melihat apa yang mendorongnya untuk menikahi si gadis, karena mengamalkan hadits tersebut. Demikian juga Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu sebagaimana telah disinggung di atas. Sehingga cukuplah hadits-hadits ini dan pemahaman sahabat sebagai hujjah untuk membolehkan seorang lelaki untuk melihat lebih dari sekadar wajah dan dua telapak tangan2.
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Sisi kebolehan melihat bagian tubuh si wanita yang biasa tampak adalah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan melihat wanita yang hendak dipinang dengan tanpa sepengetahuannya. Dengan demikian diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat bagian tubuh si wanita yang memang biasa terlihat karena tidak mungkin yang dibolehkan hanya melihat wajah saja padahal ketika itu tampak pula bagian tubuhnya yang lain, tidak hanya wajahnya. Karena bagian tubuh tersebut memang biasa terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya sebagaimana dibolehkan melihat wajah. Dan juga karena si wanita boleh dilihat dengan perintah penetap syariat berarti dibolehkan melihat bagian tubuhnya sebagaimana yang dibolehkan kepada mahram-mahram si wanita.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil Makhthubah)
Memang dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika nazhar ini didapatkan adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama3.
3. Khithbah (peminangan)
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ
“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”
Perkara ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi pihak wanita meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih menyukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita, atau peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh bagi peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)
Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Jangankan duduk bicara berduaan, bahkan ditemani mahram si wanita pun masih dapat mendatangkan fitnah. Karenanya, ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dimintai fatwa tentang seorang lelaki yang telah meminang seorang wanita, kemudian di hari-hari setelah peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita. Namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Lalu apa jawaban Syaikh rahimahullahu? Beliau ternyata berfatwa, “Hal seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena, perasaan pria bahwa wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan yang dimiliki adalah haram. Sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman, hukumnya haram pula.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, 2/748)
Yang perlu diperhatikan oleh wali
Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:
-Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
-Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.
Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana izinnya seorang gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab beliau. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
4. Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah. Lafadznya sebagai berikut:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. (آل عمران: 102)
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. (النساء: 1)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. (الأحزاب: 70-71)
5. Walimatul ‘urs
Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena adanya perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah menikah:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan:
مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ
“Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)
Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul, karena demikian yang dinukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha dan beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 74: “Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Fathul Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara makna.”)
Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ
“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)
Pada hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis rebana kecil, tanpa keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara gemerincing-, ed.) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya pernikahan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ
“Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1994)
Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan satu bab dalam Shahih-nya, “Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha yang mengisahkan kehadiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari merangkai kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka yang terbunuh dalam perang Badr, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkannya. (HR. Al-Bukhari no. 5148)
Dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian atau memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya haram.
Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّّ صلى الله عليه وسلم كاَنَ إِذَا رَفَّأَ اْلإِنْسَاَن، إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR. At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
6. Setelah akad
Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara berikut ini:
Pertama: Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya. Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha (HR. Muslim no. 590).
Kedua: Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana akan disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin As-Sakan radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah selesai aku memanggil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang menunduk malu.” Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah pun mengambilnya dan meminum sedikit dari susu tersebut.” (HR. Ahmad, 6/438, 452, 458 secara panjang dan secara ringkas dengan dua sanad yang saling menguatkan, lihat Adabuz Zafaf, hal. 20)
Keempat: Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya (ubun-ubunnya) sembari mendoakannya, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا وَلْيُسَمِّ اللهَ عز وجل وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ وَلْيَقُلْ: اللّهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
“Apabila salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendoakan keberkahan dan mengatakan: ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.” (HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku berstatus budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhum. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk mengimami. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku pun maju mengimami mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kebaikannya dan berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Namun bukan berarti janda terlarang baginya, karena dari keterangan di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperkenankan Jabir radhiyallahu ‘anhu memperistri seorang janda. Juga, semua istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dinikahi dalam keadaan janda, kecuali Aisyah rad..
3 Bahkan Al-Imam Ahmad rahimahullahu sampai memiliki beberapa riwayat dalam masalah ini, di antaranya:
Pertama: Yang boleh dilihat hanya wajah si wanita saja.
Kedua: Wajah dan dua telapak tangan. Sebagaimana pendapat ini juga dipegangi oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.
Ketiga: Boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasa tampak di depan mahramnya dan bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki, dan semisalnya. Tidak boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasanya tertutup seperti bagian dada, punggung, dan semisal keduanya.
Keempat: Seluruh tubuhnya boleh dilihat, selain dua kemaluannya. Dinukilkan pendapat ini dari Dawud Azh-Zhahiri.
Kelima: Boleh melihat seluruh tubuhnya tanpa pengecualian. Pendapat ini dipegangi pula oleh Ibnu Hazm dan dicondongi oleh Ibnu Baththal serta dinukilkan juga dari Dawud Azh-Zhahiri.
PERHATIAN: Tentang pendapat Dawud Azh-Zhahiri di atas, Al-Imam An-Nawawi berkata bahwa pendapat tersebut adalah suatu kesalahan yang nyata, yang menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan menyatakan: “Ada pun sau`atan (yakni qubul dan dubur) tidak perlu dikaji lagi bahwa keduanya tidak boleh dilihat. Apa yang disebutkan bahwa Dawud membolehkan melihat kemaluan, saya sendiri tidak pernah melihat pendapatnya secara langsung dalam buku murid-muridnya. Itu hanya sekedar nukilan dari Abu Hamid Al-Isfirayini. Dan telah saya kemukakan dalil-dalil yang melarang melihat aurat.”
Sulaiman At-Taimi berkata: “Bila engkau mengambil rukhshah (pendapat yang ringan) dari setiap orang alim, akan terkumpul pada dirimu seluruh kejelekan.”
Ibnu Abdilbarr berkata mengomentari ucapan Sulaiman At-Taimi di atas: “Ini adalah ijma’ (kesepakatan ulama), aku tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal ini.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 359)
Selain itu ada pula pendapat berikutnya yang bukan merupakan pendapat Al-Imam Ahmad:
Keenam: Boleh melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki si wanita, demikian pendapat Abu Hanifah dalam satu riwayat darinya.
Ketujuh: Boleh dilihat dari si wanita sampai ke tempat-tempat daging pada tubuhnya, demikian kata Al-Auza’i. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar hal. 392,393, Fiqhun Nazhar hal. 77,78)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menyatakan bahwa riwayat yang ketiga lebih mendekati zahir hadits dan mencocoki apa yang dilakukan oleh para sahabat. (Ash-Shahihah, membahas hadits no. 99)
4 Bagi orang yang punya kelapangan tentunya, sehingga jangan dipahami bahwa walimah harus dengan memotong kambing. Setiap orang punya kemampuan yang berbeda. (Syarhus Sunnah 9/135)
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam walimah atas pernikahannya dengan Shafiyyah, yang terhidang hanyalah makanan yang terbuat dari tepung dicampur dengan minyak samin dan keju (HR. Al-Bukhari no. 5169).
Sehingga hal ini menunjukkan boleh walimah tanpa memotong sembelihan. Wallahu ‘alam bish-shawab.
Adalah Sebuah Blog Pribadi Yang Mencoba Membuka Suatu Masalah Tentang Masalah Umum & Sosial Terutama Masalah Agama Dan Teknologi Informasi Dan Mencoba Untuk Mengupasnya Dari Sisi Yang Lain Dan Dari Berbagai Sumber Yang Terpercaya
Selasa, 14 Desember 2010
Senin, 13 Desember 2010
Masalah Pernikahan dan cara Mengatasinya
H. Zamhari Hasan
Penulis adalah Widyaiswara Madya pada Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama
Abstract
Marriage is a couple commitment to live together in Islam, living together is a natural thing, Allah puts together not only human but also animal and plant. As Allah says in Surah Azzariat 51:49 ”That mens Everything is crested in couple to see the creatness of Allah” There is no couple free from problem, even the smallest one. They need a guide to overcome marriage problem.
Pendahuluan
”Pernikahan adalah ikrar dua orang mempelai untuk hidup berpasangan, dalam agama islam, hidup berpasangan merupakan fitrah, bukan hanya manusia yang di-setting untuk hidup berpasangan, tetapi mahluk lain, seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan pun di ciptakan Tuhan dengan berpasangan-pasangan. Seperti Firman Allah yang artinya ”Segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari kebesaran Allah” (QS. Az Zariat: 49).
Akan tetapi tidak semua pasangan pernikahan yang lepas dari permasalahan, baik besar maupun yang terkecil sekalipun.untuk itu diperlukan tuntunan yang dapat menghindari dan mengatasi permasalahan dalam hidup berkeluarga.
Menikah adalah sesuatu yang didambakan oleh setiap manusia normal. Menikah juga dipandang sakral oleh semua agama. Tetapi hidup berumah tangga itu sendiri merupakan misteri dari kebahagiaan. Ada orang yang hidup dengan amat sangat sederhana, tetapi mereka merasakan kebahagiaan yang prima dalam kehidupan rumah tangganya. Sebaliknya ada orang yang memiliki kelengkapan fasilitas hidup, sandang pangan papan, hiburan, kendaraan, uang, perhiasan dan sebagainya, tetapi mereka tidak menemukan yang didambakan, sebaliknya, semua kelengkapan materi itu justru tak bermakna apa-apa. Dalam pandangan Islam pernikahan adalah suci, sunnah rasul dan Ibadah. Oleh karena itu setiap muslim seyogyanya menikah secara Islam, berumah tangga secara Islam dan hidup secara Islam. Perselisihan dalam rumah tangga, bahkan perceraian, adalah sesuatu yang manusiawi belaka, tetapi al Qur’an menganjurkan untuk selalu islah, memperbaiki diri, dan memilih jalan yang terbaik.
Problema Kehidupan Berkeluarga
Problema di seputar perkawinan atau kehidupan berkeluarga berada di sekitar:
a. Kesulitan memilih jodoh/kesulitan mengambil keputusan siapa calon suami/isteri;
b. Ekonomi keluarga yang kurang tercukupi;
c. Perbedaan watak, temperamen dan perbedaan kepribadian yang terlalu tajam antara suami isteri;
d. Ketidak puasan dalam hubungan seksual;
e. Kejenuhan rutinitas;
f. Hubungan antar keluarga besar yang kurang baik;
g. Ada orang ketiga, atau yang sekarang popular dengan istilah WIL (wanita idaman lain) dan PIL (pria idaman lain) selingkuh;
h. Masalah Harta dan warisan;
i. Menurunnya perhatian dari kedua belah pihak suami isteri;
j. Dominasi dan interfensi orang tua/ mertua;
k. Kesalah pahaman antara kedua belah pihak;
l. Poligami;
m. Perceraian.
Cara Mengatasi Masalah Pernikahan Melalui Konseling
Dari berbagai problem kerumah tangaan seperti tersebut diatas, maka konseling perkawinan menjadi relevan, yakni membantu agar client dapat menjalani kehidupan rumah tangga secar benar, bahagia dan mampu mengatasi problem-problem yang timbul dalam kehidupan perkawinan. Oleh karena itu maka konseling perkawinan pada prinsipnya berisi dorongan untuk mengingat atau menghayati kembali prinsip-prinsip dasar, hikmah, tujuan dan tuntunan hidup berumah tangga menurut ajaran Islam. Konseling diberikan agar suami/istri menyadari kembali posisi masing-masing dalam keluarga dan mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang terbaik bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarganya.
Jika memperhatikan kasus perkasus maka konseling perkawinan diberikan dengan tujuan:
a. Membantu pasangan perkawinan itu mecegah terjadinya/meletusnya problema yang mengganggu kehidupan perkawinan mereka.
b. Pada pasangan yang sedang dilanda kemelut rumah tangga, konseling diberikan dengan maksud agar mereka bisa mengatasi sendiri problema yang sedang dihadapi.
c. Pada pasangan yang berada dalam tahap rehabilitasi, konseling diberikan agar mereka dapat memelihara kondisi yang sudah baik menjadi lebih baik.
Prinsip-Prinsip Dasar Perkawinan
Prinsip-prinsip dasar perkawinan Islam yang harus diketahui oleh setiap muslim dapat dirumuskan sbb :
a. Dalam memilih calon suami/istri, faktor agama dan akhlak calon pasangan harus menjadi pertimbangan pertama sebelum keturunan, rupa dan harta, sebagaimana diajarkan oleh rasul dalam hadisnya.
Artinya: “Wanita itu dinikahi karena empat pertimbangan, kekayaannya, nasabnya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah wanita yang beragama niscaya kalian beruntung.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Artinya: “Pilihlah gen bibit keturunanmu, karena darah (kualitas manusia) itu menurun.” (H.R. Ibnu Majah)
b. Bahwa nikah atau hidup berumah tangga itu merupakan sunnah rasul bagi yang sudah mampu. Dalam kehidupan berumah tangga terkandung banyak sekali keutamaan yang bernilai ibadah, menyangkut aktualisasi diri sebagai suami/istri, sebagai ayah/ibu dan sebagainya. Bagi yang belum mampu disuruh bersabar dan berpuasa, tetapi jika dorongan nikah sudah tidak terkendali padahal ekonomi belum siap, sementara ia takut terjerumus pada perzinaan, maka agama menyuruh agar ia menikah saja, Insya Allah rizki akan datang kepada orang yang memiliki semangat menghindari dosa, entah dari mana datangnya (min haitsu la yahtasib). Nabi bersabda:
Artinya: “Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian sudah mampu untuk menikah nikahlah, karena itu dapat mengendalikan mata (yang jalang) dan memelihara kesucian kehormatan (dari berzina) dan barang siapa yang belum siap, hendaknya ia berpuasa, karena puasa bisa menjadi obat (dari dorongan nafsu).” (H.R. Bukhari Muslim)
Firman Allah;
Artinya: “Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak nikah diantara hamba-hamba sahayamu yang laki dan yang perempuan. Jika mereka fakir, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Allah Maha luas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. an Nur: 32)
c. Bahwa tingkatan ekonomi keluarga berhubungan dengan kesungguhan berusaha, kemampuan mengelola (manajemen) dan berkah dari Allah SWT. Ada keluarga yang ekonominya pas-pasan tetapi hidupnya bahagia dan anak-anaknya bisa sekolah sampai jenjang tinggi, sementara ada keluarga yang serba kecukupan materi tetapi suasananya gersang dan banyak urusan keluarga dan pendidikan anak terbengkalai. Berkah artinya terkumpulnya kebaikan ilahiyyah pada seseorang/ keluarga/ masyarakat seperti terkumpulnya air di dalam kolam.
Secara sosiologis, berkah artinya terdayagunanya nikmat Tuhan secara optimal. Berkah dalam hidup tidak datang dengan sendirinya tetapi harus diupayakan.
Firman Allah:
Artinya: “Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, niscaya kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan dari bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami akan siksa mereka disebabkan oleh perbuatan mereka.” (QS. al A’raf: 96)
Al Hadis:
Artinya: “Allah menyayangi orang yang bekerja secara halal, membelanjakan hasil secara sederhana, dan mengutamakan sisa (tabungan) untuk kekurangan dan kebutuhannya (di waktu mendatang).” (H.R. Ibn. Najjar dari Aisyah)
d. Suami istri bagaikan pakaian dan pemakainya. Antara keduanya harus ada kesesuaian ukuran, kesesuain mode, asesoris dan pemeliharaan kebersihan. Layaknya pakaian, masing-masing suami dan istri harus bisa menjalankan fungsinya sebagai (1) penutup aurat (sesuatu yang memalukan) dari pandangan orang lain, (2) pelindung dari panas dinginya kehidupan, dan (3) Kebanggaan dan keindahan bagi pasangannya. Dalam keadaan tertentu pakaian mungkin bisa diperkecil, dilonggarkan, ditambah asesoris dan sebagainya. Mengatasi perbedaan selera kecendrungan dan hidup antara suami istri, diperlukan pengorbanan kedua belah pihak. Masing-masing harus bertanya: Apa yang dapat saya berikan bukan apa yang saya mau.
Firman Allah:
Artinya: “Mereka (istri-istrimu) adalah (ibarat) pakaian kalian, dan kalian adalah (ibarat) pakaian mereka.” (QS. al Baqarah: 187)
Al Hadis:
Artinya: “Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik terhadap istrinya, dan aku (Nabi) adalah orang yang paling baik terhadap istri.” (H.R. Turmuzi dari Aisyah)
e. Bahwa cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah) merupakan sendi dan perekat rumah tangga yang sangat penting. Cinta adalah sesuatu yang suci, anugerah Tuhan dan sering tidak rational. Cinta dipenuhi nuansa memaklumi dan memaafkan. Kesabaran, kesetiaan, pengertian, pemberian dan pengorbanan akan mendatang/ menyuburkan cinta, sementara penyelewengan, egoisme, kikir dan kekasaran akan menghilangkan rasa cinta. Hukama berkata:
“Tanda-tanda cita sejati ialah (1) engkau lebih suka berbicara dengan dia (yang kau cintai) dibanding berbicara dengan orang lain, (2) engkau lebih suka duduk berduaan dengan dia dibanding dengan orang lain, dan (3) engkau lebih suka mengikuti kemauan dia dibanding kemauan orang lain/diri sendiri).”
Firma Allah;
Artinya: “….Sekiranya engkau (Nabi) kasar dan keras hati (kepada sahabat-sahabatnya), niscaya mereka lari dari sisimu.” (QS. Ali Imran: 159)
Al Hadis;
Artinya: “Tidak bisa memuliakan wanita kecuali lelaki yang mulia, dan tidak sanggup menghina wanita kecuali lelaki yang tercela/ hina.”?
f. Bahwa salah satu fungsi perkawinan adalah untuk menyalurkan hasrat seksual secara sehat, benar dan halal. Hubungan suami istri (persetubuhan) merupakan hak azazi, kewajiban dan kebutuhan bagi kedua belah pihak. Persetubuhan yang memenuhi tiga syarat (sehat, benar, halal) itulah yang berkulitas, dan dapat mendatangkan ketentraman (sakinah). Oleh karena itu, masing-masing suami istri harus menyadari bahwa hal itu bukan hanya hak bagi dirinya, tetapi juga hak bagi yang lain dan kewajiban bagi dirinya. Dalam Islam, hubungan seksual yang benar dan halal adalah ibadah.
Firman Allah:
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentraman kepadanya, dan dia menjadikan rasa kasih sayang diantaramu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar Rum: 21)
Artinya: “Nabi bersabda: Persetubuhan dengan istrimu itu memperoleh pahala. Para sahabat bertanya; Apakah orang yang menyalurkan syahwatnya dapat pahala? Nabi menjawab: Tidakkah kalian tahu bahwa jika ia menyalurkan hasratnya di tempat yang haram, maka ia berdosa.?, Nah, demikian pula jika menyalurkan hasratnya kepada istrinya yang halal, maka ia memperoleh pahala.” (H.R. Muslim)
g. Bahwa pergaulan dalam rumah tangga juga membutuhkan suasana dinamis, dialog dan saling menghargai. Kekurangan keuangan keluarga misalnya oleh orang bijak dapat dijadikan sarana untuk menciptakan suasana dinamis dalam keluarga. Sebaliknya suasana mapan yang lama (baik mapan cukup maupun mapan dalam kekurangan) dapat menimbulkan suasana rutin yang menjenuhkan. Oleh karena itu suami istri harus pandai menciptakan suasana baru, baru dan diperbaharui lagi, karena faktor kebaruan secara psikologis membuat hidup menjadi menarik. Kebaruan tidak mesti dengan mendatangkan hal-hal yang baru, tetapi bisa juga barang lama dengan kemasan baru.
h. Salah satu penyebab kehancuran rumah tangga adalah adanya orang ketiga bagi suami atau bagi istri (other women/ man). Datangnya orang ketiga dalam rumah tangga bisa disebabkan karena kelalaian/kurang waspada (misalnya kasus adik ipar atau pembantu, atau karena pergaulan terlalu bebas (ketemu bekas pacar atau teman sekerja), atau karena ketidak puasan kehidupan seksual, atau karena kejenuhan rutinitas. Suami/istri harus saling mempercayai, tetapi harus waspada terhadap kemungkinan masuknya virus orang ketiga.
Artinya: “Nabi melarang seorang lelaki memasuki kamar wanita yang bukan muhrim. Seorang sahabat menanyakan boleh tidaknya memasuki kamar saudara ipar. Nabi menjawab: Masuk ke kamar ipar itu sama dengan maut (berbahaya).”
Artinya: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, untuk bepergian selama tiga hari tanpa disertai muhrimnya.” (H.R. Bukhari, Muslim dan abu Daud, dari Ibn Umar)
i. Bahwa perkawinan itu bukan hanya mempertemukan dua orang; suami dan istri, tetapi juga dua keluarga besar antar besan. Oleh karena itu suami/istri harus bisa berhubungan secara proposional dengan kedua belah pihak keluarga, orang tua, mertua adik, ipar dst.
j. Bahwa masalah harta benda sering menjadi sumber perselisihan keluarga, baik selagi masih hidup maupun setelah ditinggal mati (warisan). Orang tua diajarkan untuk berlaku adil terhadap anak-anaknya -termasuk dalam hal pemberian harta-. Ada dua jalan untuk mengalihkan hak pemilikan harta orang tua kepada anak, yaitu hibah, yakni pemberian ketika orang tua masih hidup, dan pembagian harta warisan setelah orang tua mati. Pedoman pembagian harta warisan dalam Islam sudah sangat jelas, tetapi kesepakatan keluarga (ahli waris) dapat membuat keputusan lain dalam pembagian harta. Harta waris yang diperoleh dengan cara rebutan/ perselisihan biasanya tidak berkah, karena cara perolehannya disertai rasa permusuhan/tidak ridha.
Firman Allah;
Artinya: “Dan Janganlah sebagian kamu memakan harta dari sebagian yang lain di antaramu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu ke pengadilan supaya kamu dapat menguasai (harta orang lain) dengan cara dosa, padahal kamu mengetahui (kesalahanmu).” (QS. al Baqarah: 188)
k. Bahwa karena selalu berdekatan, komunikasi antara suami istri biasanya menjadi sangat intens.Keharmonisan hubungan antara suami istri dipengaruhi oleh kesamaan atau keseimbangan watak/ temperamen, kesamaan hobbi, kedekatan visi dan sebagainya. Keharmonisan suami istri akan terwujud jika masing-masing berfikir untuk memberi, bukan untuk menuntut, saling menghargai, bukan saling merendahkan. Dalam kehidupan, seringkali dijumpai bahwa kesulitan yang dihadapi justru mengandung hikmah yang besar, asal orang dapat menerima dan menghadapi secara benar dan sabar. Istri biasanya kurang senang dinasehati suami jika nasehat itu seperti nasehat guru kepada murid, meskipun ia mengakui kebenaran nasehat suaminya, demikian juga sebaliknya.seperti Firman Allah dalam surah an Nisa ayat 19 sebagai berikut:
Artinya: “Wahai orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan secara paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebahagian dari apa yang telah engkau berikan kepada mereka, terkecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Pergaulilah mereka dengan secara patut, tetapi jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah), karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. an Nisa: 19)
Al Hadis:
‘Tidak bisa memuliakan wanita, kecuali lelaki yang mulia juga, dan tidak sanggup merendahkan derajat wanita kecuali lelaki yang rendah (tercela) juga.”
l. Pada dasarnya sistem perkawinan dalam Islam adalah monogami. Poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan tertentu, bagaikan pintu darurat, dan dengan persyaratan-persyaratan yang berat. Secara sosiologis, poligami terjadi disebabkan oleh banyak hal, antara lain: (1) Suami hanya menuruti dorongan syahwatnya tanpa mengukur tanggung jawabnya; (2) Istri kurang mengerti hal-hal yang dapat mengikat perasaan suami tetap konsentrasi dirumah; (3) Pergaulan yang terlalu akrab dengan wanita lain, misalnya karena setiap hari selalu bersama (seperti teman sekerja), atau karena simpati kepada problem yang dihadapi si wanita itu sehingga si lelaki terdorong ingin menjadi dewa penolong; (4) Perpisahan yang terlalu lama antara suami dan istri; (5) Campur tangan luar atau pelecehan harga diri suami oleh istri/ keluarga sehingga suami merasa tidak berwibawa di rumah, dan selanjutnya mencari kewibawaan di luar rumah; (6) Isteri tak berdaya menghadapi ke hendak suami atau sefaham bahwa poligami itu manusiawi saja.
Poligami yang dilakukan demi menjaga kesucian adalah lebih baik daripada toleransi terhadap perzinahan. Ungkapan yang berbunyi; jika ingin makan daging kambing cukup beli sate, tidak harus repot-repot memelihara kambing, sebenarnya adalah ungkapan sesat dari orang bodoh.
Seorang bijak mengatakan bahwa poligami hanya bisa dilakukan oleh tiga orang, yaitu: (1) Oleh “raja”, dengan kekuasaannya ia dapat mengatur istri-istrinya; (2) Oleh orang berilmu, dimana dengan ilmunya ia bisa memanaj keluarga besarnya; (3) Orang ngawur, dimana ngawurnya itu membuatnya tak perduli dengan problem; (4) Perceraian. Dilihat dari sudut hak dan kewajiban, perkawinan merupakan kontrak sosial yang mengikat antara suami istri, yakni bahwa suami memikul kewajiban yang melahirkan hak, sebagaimana juga istri memiliki hak-hak yang lahir dari kewajiban yang dipikulnya. Jika salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya, maka hal itu berpengaruh kepada hak-hak yang dimilikinya, dan sebaliknya menjadi hak bagi pihak lain yang menggugatnya. Misalnya; suami wajib memberi nafkah keluarga, yang dengan itu suami memiliki hak untuk memimpin rumah tangga. Jika suami ternyata tidak sanggup memberi nafkah, sebaliknya istri justru bekerja keras dan bisa memberi nafkah keluarganya, maka hak kepemimpinan suami dalam rumah tangga pasti menjadi tidak penuh karena terdesak oleh kontribusi yang diberikan oleh istri.
Ta’lik talak yang diucapkan suami setelah akad nikah merupakan bentuk perlindungan kepada istri dari kelalaian suami.
Jika suami/istri merasa bahwa hak-hak mereka tidak dipenuhi, sementara jalan keluar tidak ada maka agama memberikan jalan keluar kepada pasangan itu untuk memilih satu dari dua pilihan: kembali bersatu secara terhormat, atau berpisah secara baik-baik.
Firman Allah;
Artinya: “Talak yang dapat dirujuk hanya dua kali, setelah itu boleh rujuk dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik (QS. al Baqarah: 229).”
Perceraian (talak) adalah sesuatu yang dihalalkan tetapi tidak disukai Tuhan.
Al Hadis;
Artinya: “Sesuatu yang halal yang sangat dimurkai Allah adalah talak.”
Untuk mencegah terjadinya perceraian, dianjurkan keluarga turun tangan, yakni dengan mengirimkan tenaga mediasi (hakam) dalam Al Qur’an Allah berfirman dalam surah an Nisa ayat 35.
Artinya: “Jika kamu khawatirkan terjadi persengketaan diantara keduanya (suami istri), maka kirimkanlah seorang pendamai (pendamai) dari keluarga suami dan dari keluarga istri. Jika kedua juru damai itu berniat untuk mendamaikan, niscaya Allah akan memberikan taufiq kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. an Nisa: 35)
Perceraian yang ke I dan yang ke II (talak raj’i) tidak langsung memutuskan hubungan, oleh karena itu disediakan peluang untuk rujuk selama masa ‘iddah. Masa ‘iddah merupakan peluang bagi kedua belah pihak untuk merenungkan kembali hubungan diantara mereka. Pada rumah tangga yang berantakan, anak-anak biasanya menjadi korban pertama dari apa yang dilakukan orang tuanya.
m. Dalam menghadapi prahara rumah tangga dibutuhkan kesabaran dari kedua belah pihak. Sabar artinya; tabah hati tanpa mengeluh, dalam menghadapi cobaan dan rintangan, dalam jangka waktu tertentu, dalam rangka mencapai tujuan. Orang bisa sabar, jika ingat tujuan. Masing-masing suami dan istri harus selalu mengingat tujuan mereka membangun rumah tangga, tujuan mendidik anak sampai jadi, dan tujuan hidup itu sendiri. Meski demikian, sabar ada batasnya jika sekiranya ketabahan dan kesabaran yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu sedikitpun tidak membawa perbaikan, sebaliknya semakin terpuruk dalam kesulitan, maka agama memberi peluang untuk mencari jalan keluar yang terbaik, meski dalam bentuk perceraian. Perceraian yang terjadi setelah melampaui babak kesabaran pada umumnya membawa kebaikan kedua belah pihak. Kesabaran dituntut terutama ketika awal mula mendapat gempuran prahara (as sobru ‘inda as sodmat al ‘ula). Jika pada gempuran pertama dapat bersabar, maka biasanya dalam melampaui tahap-tahap berikutnya prahara itu menjadi lebih ringan, dan solusinya terkendali.
Azas Konseling Perkawinan
Dengan memperhatikan kasus yang sedang dialami oleh masing-masing pasangan, dan dengan berpedoman kepada ajaran Islam tentang kehidupan perkawinan, maka konseling diberikan dengan azas-azas sebagai berikut:
1. Prinsip kebahagian seperti yang terkandung dalam ungkapan My house is my castle atau baiti jannati, haruslah mengacu pada konsep kebahgiaan seperti yang diajarkan oleh al Qur’an, yaitu falah, fauz dan sa’adah, yakni kebahagiaan dunia akhirat, kebahagiaan yang diridhai Allah, bukan kebahagiaan palsu.
2. Bahwa rumah tangga yang bahagia (keluarga sakinah) itu berdiri atas sendi kasih sayang, atau mawaddah wa rahmah.
3. Bahwa suami istri itu harus berkomunikasi atau musyawarah, menyangkut urusan mereka.
4. Bahwa rumah tangga itu ibarat kapal yang harus di nakhodai dengan hati-hati dan sabar.
5. Dalam perselisihan keluarga, kedua belah pihak harus mengutamakan kemaslahatan dari pada kemenangan.
Konselor dan Klien
Klien dari konseling perkawinan adalah orang yang memilih atau akan mengambil keputusan, yang perlu diarahkan dalam menentukan calon suami/isteri dan pasangan rumah tangga yang sedang mengalami problem komunikasi atau problem kejiwaan lainnya.
Konselor perkawinan haruslah orang yang mengerti ajaran Islam tentang perkawinan, menghayati psikologi suami isteri dan menguasai tehnik konseling.
Penutup
Dalam sistem ajaran islam,Keluarga memiliki kedudukan yang sangat penting dan merupakan cikal bakal, sumber inspirasi dan pondasi peradaban,artinya melalui keluargalah kaum muslimin mengawali derap langkah pengabdian yang sesungguhnya, mulai dari menata dirinya, agar siap memasuki jenjang perkawinan, mengelola keluarga, serta menyiapkan generasi masa depan yang mampu berkompetisi dan berakhlak mulia.Dengan mengetahui di seputar masaalah keluarga di harapkan mampu menghadapi dan mengatasinya dalam koredor tuntunan ajaran agama Islam.
Daftar Pustaka
Al Qur’an terjemahan Departemen Agama RI. Tahun 2004.
Al Hadis Shohih Bukhori.
Ahmad Mubarok. DR.H. MA Konseling perkawinan. PT.Bina Rena Pariwara Cetakan ketiga Tahun 2002.
Dadang Hawari, Prof. DR. dr. H. Marriage counseling. Balai Penerbit FK.UI.Jakarta tahun 2006.
Pedoman Nasehat Perkawinan Badan Penasehatan Perkawinan Perselisihan dan perceraian (BP.4) Pusat tahun 1985.
Pedoman Pejabat Urusan Agama Islam, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Jakarta, tahun 2005.
Penulis adalah Widyaiswara Madya pada Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama
Abstract
Marriage is a couple commitment to live together in Islam, living together is a natural thing, Allah puts together not only human but also animal and plant. As Allah says in Surah Azzariat 51:49 ”That mens Everything is crested in couple to see the creatness of Allah” There is no couple free from problem, even the smallest one. They need a guide to overcome marriage problem.
Pendahuluan
”Pernikahan adalah ikrar dua orang mempelai untuk hidup berpasangan, dalam agama islam, hidup berpasangan merupakan fitrah, bukan hanya manusia yang di-setting untuk hidup berpasangan, tetapi mahluk lain, seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan pun di ciptakan Tuhan dengan berpasangan-pasangan. Seperti Firman Allah yang artinya ”Segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari kebesaran Allah” (QS. Az Zariat: 49).
Akan tetapi tidak semua pasangan pernikahan yang lepas dari permasalahan, baik besar maupun yang terkecil sekalipun.untuk itu diperlukan tuntunan yang dapat menghindari dan mengatasi permasalahan dalam hidup berkeluarga.
Menikah adalah sesuatu yang didambakan oleh setiap manusia normal. Menikah juga dipandang sakral oleh semua agama. Tetapi hidup berumah tangga itu sendiri merupakan misteri dari kebahagiaan. Ada orang yang hidup dengan amat sangat sederhana, tetapi mereka merasakan kebahagiaan yang prima dalam kehidupan rumah tangganya. Sebaliknya ada orang yang memiliki kelengkapan fasilitas hidup, sandang pangan papan, hiburan, kendaraan, uang, perhiasan dan sebagainya, tetapi mereka tidak menemukan yang didambakan, sebaliknya, semua kelengkapan materi itu justru tak bermakna apa-apa. Dalam pandangan Islam pernikahan adalah suci, sunnah rasul dan Ibadah. Oleh karena itu setiap muslim seyogyanya menikah secara Islam, berumah tangga secara Islam dan hidup secara Islam. Perselisihan dalam rumah tangga, bahkan perceraian, adalah sesuatu yang manusiawi belaka, tetapi al Qur’an menganjurkan untuk selalu islah, memperbaiki diri, dan memilih jalan yang terbaik.
Problema Kehidupan Berkeluarga
Problema di seputar perkawinan atau kehidupan berkeluarga berada di sekitar:
a. Kesulitan memilih jodoh/kesulitan mengambil keputusan siapa calon suami/isteri;
b. Ekonomi keluarga yang kurang tercukupi;
c. Perbedaan watak, temperamen dan perbedaan kepribadian yang terlalu tajam antara suami isteri;
d. Ketidak puasan dalam hubungan seksual;
e. Kejenuhan rutinitas;
f. Hubungan antar keluarga besar yang kurang baik;
g. Ada orang ketiga, atau yang sekarang popular dengan istilah WIL (wanita idaman lain) dan PIL (pria idaman lain) selingkuh;
h. Masalah Harta dan warisan;
i. Menurunnya perhatian dari kedua belah pihak suami isteri;
j. Dominasi dan interfensi orang tua/ mertua;
k. Kesalah pahaman antara kedua belah pihak;
l. Poligami;
m. Perceraian.
Cara Mengatasi Masalah Pernikahan Melalui Konseling
Dari berbagai problem kerumah tangaan seperti tersebut diatas, maka konseling perkawinan menjadi relevan, yakni membantu agar client dapat menjalani kehidupan rumah tangga secar benar, bahagia dan mampu mengatasi problem-problem yang timbul dalam kehidupan perkawinan. Oleh karena itu maka konseling perkawinan pada prinsipnya berisi dorongan untuk mengingat atau menghayati kembali prinsip-prinsip dasar, hikmah, tujuan dan tuntunan hidup berumah tangga menurut ajaran Islam. Konseling diberikan agar suami/istri menyadari kembali posisi masing-masing dalam keluarga dan mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang terbaik bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarganya.
Jika memperhatikan kasus perkasus maka konseling perkawinan diberikan dengan tujuan:
a. Membantu pasangan perkawinan itu mecegah terjadinya/meletusnya problema yang mengganggu kehidupan perkawinan mereka.
b. Pada pasangan yang sedang dilanda kemelut rumah tangga, konseling diberikan dengan maksud agar mereka bisa mengatasi sendiri problema yang sedang dihadapi.
c. Pada pasangan yang berada dalam tahap rehabilitasi, konseling diberikan agar mereka dapat memelihara kondisi yang sudah baik menjadi lebih baik.
Prinsip-Prinsip Dasar Perkawinan
Prinsip-prinsip dasar perkawinan Islam yang harus diketahui oleh setiap muslim dapat dirumuskan sbb :
a. Dalam memilih calon suami/istri, faktor agama dan akhlak calon pasangan harus menjadi pertimbangan pertama sebelum keturunan, rupa dan harta, sebagaimana diajarkan oleh rasul dalam hadisnya.
Artinya: “Wanita itu dinikahi karena empat pertimbangan, kekayaannya, nasabnya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah wanita yang beragama niscaya kalian beruntung.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Artinya: “Pilihlah gen bibit keturunanmu, karena darah (kualitas manusia) itu menurun.” (H.R. Ibnu Majah)
b. Bahwa nikah atau hidup berumah tangga itu merupakan sunnah rasul bagi yang sudah mampu. Dalam kehidupan berumah tangga terkandung banyak sekali keutamaan yang bernilai ibadah, menyangkut aktualisasi diri sebagai suami/istri, sebagai ayah/ibu dan sebagainya. Bagi yang belum mampu disuruh bersabar dan berpuasa, tetapi jika dorongan nikah sudah tidak terkendali padahal ekonomi belum siap, sementara ia takut terjerumus pada perzinaan, maka agama menyuruh agar ia menikah saja, Insya Allah rizki akan datang kepada orang yang memiliki semangat menghindari dosa, entah dari mana datangnya (min haitsu la yahtasib). Nabi bersabda:
Artinya: “Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian sudah mampu untuk menikah nikahlah, karena itu dapat mengendalikan mata (yang jalang) dan memelihara kesucian kehormatan (dari berzina) dan barang siapa yang belum siap, hendaknya ia berpuasa, karena puasa bisa menjadi obat (dari dorongan nafsu).” (H.R. Bukhari Muslim)
Firman Allah;
Artinya: “Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak nikah diantara hamba-hamba sahayamu yang laki dan yang perempuan. Jika mereka fakir, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Allah Maha luas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. an Nur: 32)
c. Bahwa tingkatan ekonomi keluarga berhubungan dengan kesungguhan berusaha, kemampuan mengelola (manajemen) dan berkah dari Allah SWT. Ada keluarga yang ekonominya pas-pasan tetapi hidupnya bahagia dan anak-anaknya bisa sekolah sampai jenjang tinggi, sementara ada keluarga yang serba kecukupan materi tetapi suasananya gersang dan banyak urusan keluarga dan pendidikan anak terbengkalai. Berkah artinya terkumpulnya kebaikan ilahiyyah pada seseorang/ keluarga/ masyarakat seperti terkumpulnya air di dalam kolam.
Secara sosiologis, berkah artinya terdayagunanya nikmat Tuhan secara optimal. Berkah dalam hidup tidak datang dengan sendirinya tetapi harus diupayakan.
Firman Allah:
Artinya: “Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, niscaya kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan dari bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami akan siksa mereka disebabkan oleh perbuatan mereka.” (QS. al A’raf: 96)
Al Hadis:
Artinya: “Allah menyayangi orang yang bekerja secara halal, membelanjakan hasil secara sederhana, dan mengutamakan sisa (tabungan) untuk kekurangan dan kebutuhannya (di waktu mendatang).” (H.R. Ibn. Najjar dari Aisyah)
d. Suami istri bagaikan pakaian dan pemakainya. Antara keduanya harus ada kesesuaian ukuran, kesesuain mode, asesoris dan pemeliharaan kebersihan. Layaknya pakaian, masing-masing suami dan istri harus bisa menjalankan fungsinya sebagai (1) penutup aurat (sesuatu yang memalukan) dari pandangan orang lain, (2) pelindung dari panas dinginya kehidupan, dan (3) Kebanggaan dan keindahan bagi pasangannya. Dalam keadaan tertentu pakaian mungkin bisa diperkecil, dilonggarkan, ditambah asesoris dan sebagainya. Mengatasi perbedaan selera kecendrungan dan hidup antara suami istri, diperlukan pengorbanan kedua belah pihak. Masing-masing harus bertanya: Apa yang dapat saya berikan bukan apa yang saya mau.
Firman Allah:
Artinya: “Mereka (istri-istrimu) adalah (ibarat) pakaian kalian, dan kalian adalah (ibarat) pakaian mereka.” (QS. al Baqarah: 187)
Al Hadis:
Artinya: “Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik terhadap istrinya, dan aku (Nabi) adalah orang yang paling baik terhadap istri.” (H.R. Turmuzi dari Aisyah)
e. Bahwa cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah) merupakan sendi dan perekat rumah tangga yang sangat penting. Cinta adalah sesuatu yang suci, anugerah Tuhan dan sering tidak rational. Cinta dipenuhi nuansa memaklumi dan memaafkan. Kesabaran, kesetiaan, pengertian, pemberian dan pengorbanan akan mendatang/ menyuburkan cinta, sementara penyelewengan, egoisme, kikir dan kekasaran akan menghilangkan rasa cinta. Hukama berkata:
“Tanda-tanda cita sejati ialah (1) engkau lebih suka berbicara dengan dia (yang kau cintai) dibanding berbicara dengan orang lain, (2) engkau lebih suka duduk berduaan dengan dia dibanding dengan orang lain, dan (3) engkau lebih suka mengikuti kemauan dia dibanding kemauan orang lain/diri sendiri).”
Firma Allah;
Artinya: “….Sekiranya engkau (Nabi) kasar dan keras hati (kepada sahabat-sahabatnya), niscaya mereka lari dari sisimu.” (QS. Ali Imran: 159)
Al Hadis;
Artinya: “Tidak bisa memuliakan wanita kecuali lelaki yang mulia, dan tidak sanggup menghina wanita kecuali lelaki yang tercela/ hina.”?
f. Bahwa salah satu fungsi perkawinan adalah untuk menyalurkan hasrat seksual secara sehat, benar dan halal. Hubungan suami istri (persetubuhan) merupakan hak azazi, kewajiban dan kebutuhan bagi kedua belah pihak. Persetubuhan yang memenuhi tiga syarat (sehat, benar, halal) itulah yang berkulitas, dan dapat mendatangkan ketentraman (sakinah). Oleh karena itu, masing-masing suami istri harus menyadari bahwa hal itu bukan hanya hak bagi dirinya, tetapi juga hak bagi yang lain dan kewajiban bagi dirinya. Dalam Islam, hubungan seksual yang benar dan halal adalah ibadah.
Firman Allah:
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentraman kepadanya, dan dia menjadikan rasa kasih sayang diantaramu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar Rum: 21)
Artinya: “Nabi bersabda: Persetubuhan dengan istrimu itu memperoleh pahala. Para sahabat bertanya; Apakah orang yang menyalurkan syahwatnya dapat pahala? Nabi menjawab: Tidakkah kalian tahu bahwa jika ia menyalurkan hasratnya di tempat yang haram, maka ia berdosa.?, Nah, demikian pula jika menyalurkan hasratnya kepada istrinya yang halal, maka ia memperoleh pahala.” (H.R. Muslim)
g. Bahwa pergaulan dalam rumah tangga juga membutuhkan suasana dinamis, dialog dan saling menghargai. Kekurangan keuangan keluarga misalnya oleh orang bijak dapat dijadikan sarana untuk menciptakan suasana dinamis dalam keluarga. Sebaliknya suasana mapan yang lama (baik mapan cukup maupun mapan dalam kekurangan) dapat menimbulkan suasana rutin yang menjenuhkan. Oleh karena itu suami istri harus pandai menciptakan suasana baru, baru dan diperbaharui lagi, karena faktor kebaruan secara psikologis membuat hidup menjadi menarik. Kebaruan tidak mesti dengan mendatangkan hal-hal yang baru, tetapi bisa juga barang lama dengan kemasan baru.
h. Salah satu penyebab kehancuran rumah tangga adalah adanya orang ketiga bagi suami atau bagi istri (other women/ man). Datangnya orang ketiga dalam rumah tangga bisa disebabkan karena kelalaian/kurang waspada (misalnya kasus adik ipar atau pembantu, atau karena pergaulan terlalu bebas (ketemu bekas pacar atau teman sekerja), atau karena ketidak puasan kehidupan seksual, atau karena kejenuhan rutinitas. Suami/istri harus saling mempercayai, tetapi harus waspada terhadap kemungkinan masuknya virus orang ketiga.
Artinya: “Nabi melarang seorang lelaki memasuki kamar wanita yang bukan muhrim. Seorang sahabat menanyakan boleh tidaknya memasuki kamar saudara ipar. Nabi menjawab: Masuk ke kamar ipar itu sama dengan maut (berbahaya).”
Artinya: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, untuk bepergian selama tiga hari tanpa disertai muhrimnya.” (H.R. Bukhari, Muslim dan abu Daud, dari Ibn Umar)
i. Bahwa perkawinan itu bukan hanya mempertemukan dua orang; suami dan istri, tetapi juga dua keluarga besar antar besan. Oleh karena itu suami/istri harus bisa berhubungan secara proposional dengan kedua belah pihak keluarga, orang tua, mertua adik, ipar dst.
j. Bahwa masalah harta benda sering menjadi sumber perselisihan keluarga, baik selagi masih hidup maupun setelah ditinggal mati (warisan). Orang tua diajarkan untuk berlaku adil terhadap anak-anaknya -termasuk dalam hal pemberian harta-. Ada dua jalan untuk mengalihkan hak pemilikan harta orang tua kepada anak, yaitu hibah, yakni pemberian ketika orang tua masih hidup, dan pembagian harta warisan setelah orang tua mati. Pedoman pembagian harta warisan dalam Islam sudah sangat jelas, tetapi kesepakatan keluarga (ahli waris) dapat membuat keputusan lain dalam pembagian harta. Harta waris yang diperoleh dengan cara rebutan/ perselisihan biasanya tidak berkah, karena cara perolehannya disertai rasa permusuhan/tidak ridha.
Firman Allah;
Artinya: “Dan Janganlah sebagian kamu memakan harta dari sebagian yang lain di antaramu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu ke pengadilan supaya kamu dapat menguasai (harta orang lain) dengan cara dosa, padahal kamu mengetahui (kesalahanmu).” (QS. al Baqarah: 188)
k. Bahwa karena selalu berdekatan, komunikasi antara suami istri biasanya menjadi sangat intens.Keharmonisan hubungan antara suami istri dipengaruhi oleh kesamaan atau keseimbangan watak/ temperamen, kesamaan hobbi, kedekatan visi dan sebagainya. Keharmonisan suami istri akan terwujud jika masing-masing berfikir untuk memberi, bukan untuk menuntut, saling menghargai, bukan saling merendahkan. Dalam kehidupan, seringkali dijumpai bahwa kesulitan yang dihadapi justru mengandung hikmah yang besar, asal orang dapat menerima dan menghadapi secara benar dan sabar. Istri biasanya kurang senang dinasehati suami jika nasehat itu seperti nasehat guru kepada murid, meskipun ia mengakui kebenaran nasehat suaminya, demikian juga sebaliknya.seperti Firman Allah dalam surah an Nisa ayat 19 sebagai berikut:
Artinya: “Wahai orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan secara paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebahagian dari apa yang telah engkau berikan kepada mereka, terkecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Pergaulilah mereka dengan secara patut, tetapi jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah), karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. an Nisa: 19)
Al Hadis:
‘Tidak bisa memuliakan wanita, kecuali lelaki yang mulia juga, dan tidak sanggup merendahkan derajat wanita kecuali lelaki yang rendah (tercela) juga.”
l. Pada dasarnya sistem perkawinan dalam Islam adalah monogami. Poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan tertentu, bagaikan pintu darurat, dan dengan persyaratan-persyaratan yang berat. Secara sosiologis, poligami terjadi disebabkan oleh banyak hal, antara lain: (1) Suami hanya menuruti dorongan syahwatnya tanpa mengukur tanggung jawabnya; (2) Istri kurang mengerti hal-hal yang dapat mengikat perasaan suami tetap konsentrasi dirumah; (3) Pergaulan yang terlalu akrab dengan wanita lain, misalnya karena setiap hari selalu bersama (seperti teman sekerja), atau karena simpati kepada problem yang dihadapi si wanita itu sehingga si lelaki terdorong ingin menjadi dewa penolong; (4) Perpisahan yang terlalu lama antara suami dan istri; (5) Campur tangan luar atau pelecehan harga diri suami oleh istri/ keluarga sehingga suami merasa tidak berwibawa di rumah, dan selanjutnya mencari kewibawaan di luar rumah; (6) Isteri tak berdaya menghadapi ke hendak suami atau sefaham bahwa poligami itu manusiawi saja.
Poligami yang dilakukan demi menjaga kesucian adalah lebih baik daripada toleransi terhadap perzinahan. Ungkapan yang berbunyi; jika ingin makan daging kambing cukup beli sate, tidak harus repot-repot memelihara kambing, sebenarnya adalah ungkapan sesat dari orang bodoh.
Seorang bijak mengatakan bahwa poligami hanya bisa dilakukan oleh tiga orang, yaitu: (1) Oleh “raja”, dengan kekuasaannya ia dapat mengatur istri-istrinya; (2) Oleh orang berilmu, dimana dengan ilmunya ia bisa memanaj keluarga besarnya; (3) Orang ngawur, dimana ngawurnya itu membuatnya tak perduli dengan problem; (4) Perceraian. Dilihat dari sudut hak dan kewajiban, perkawinan merupakan kontrak sosial yang mengikat antara suami istri, yakni bahwa suami memikul kewajiban yang melahirkan hak, sebagaimana juga istri memiliki hak-hak yang lahir dari kewajiban yang dipikulnya. Jika salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya, maka hal itu berpengaruh kepada hak-hak yang dimilikinya, dan sebaliknya menjadi hak bagi pihak lain yang menggugatnya. Misalnya; suami wajib memberi nafkah keluarga, yang dengan itu suami memiliki hak untuk memimpin rumah tangga. Jika suami ternyata tidak sanggup memberi nafkah, sebaliknya istri justru bekerja keras dan bisa memberi nafkah keluarganya, maka hak kepemimpinan suami dalam rumah tangga pasti menjadi tidak penuh karena terdesak oleh kontribusi yang diberikan oleh istri.
Ta’lik talak yang diucapkan suami setelah akad nikah merupakan bentuk perlindungan kepada istri dari kelalaian suami.
Jika suami/istri merasa bahwa hak-hak mereka tidak dipenuhi, sementara jalan keluar tidak ada maka agama memberikan jalan keluar kepada pasangan itu untuk memilih satu dari dua pilihan: kembali bersatu secara terhormat, atau berpisah secara baik-baik.
Firman Allah;
Artinya: “Talak yang dapat dirujuk hanya dua kali, setelah itu boleh rujuk dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik (QS. al Baqarah: 229).”
Perceraian (talak) adalah sesuatu yang dihalalkan tetapi tidak disukai Tuhan.
Al Hadis;
Artinya: “Sesuatu yang halal yang sangat dimurkai Allah adalah talak.”
Untuk mencegah terjadinya perceraian, dianjurkan keluarga turun tangan, yakni dengan mengirimkan tenaga mediasi (hakam) dalam Al Qur’an Allah berfirman dalam surah an Nisa ayat 35.
Artinya: “Jika kamu khawatirkan terjadi persengketaan diantara keduanya (suami istri), maka kirimkanlah seorang pendamai (pendamai) dari keluarga suami dan dari keluarga istri. Jika kedua juru damai itu berniat untuk mendamaikan, niscaya Allah akan memberikan taufiq kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. an Nisa: 35)
Perceraian yang ke I dan yang ke II (talak raj’i) tidak langsung memutuskan hubungan, oleh karena itu disediakan peluang untuk rujuk selama masa ‘iddah. Masa ‘iddah merupakan peluang bagi kedua belah pihak untuk merenungkan kembali hubungan diantara mereka. Pada rumah tangga yang berantakan, anak-anak biasanya menjadi korban pertama dari apa yang dilakukan orang tuanya.
m. Dalam menghadapi prahara rumah tangga dibutuhkan kesabaran dari kedua belah pihak. Sabar artinya; tabah hati tanpa mengeluh, dalam menghadapi cobaan dan rintangan, dalam jangka waktu tertentu, dalam rangka mencapai tujuan. Orang bisa sabar, jika ingat tujuan. Masing-masing suami dan istri harus selalu mengingat tujuan mereka membangun rumah tangga, tujuan mendidik anak sampai jadi, dan tujuan hidup itu sendiri. Meski demikian, sabar ada batasnya jika sekiranya ketabahan dan kesabaran yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu sedikitpun tidak membawa perbaikan, sebaliknya semakin terpuruk dalam kesulitan, maka agama memberi peluang untuk mencari jalan keluar yang terbaik, meski dalam bentuk perceraian. Perceraian yang terjadi setelah melampaui babak kesabaran pada umumnya membawa kebaikan kedua belah pihak. Kesabaran dituntut terutama ketika awal mula mendapat gempuran prahara (as sobru ‘inda as sodmat al ‘ula). Jika pada gempuran pertama dapat bersabar, maka biasanya dalam melampaui tahap-tahap berikutnya prahara itu menjadi lebih ringan, dan solusinya terkendali.
Azas Konseling Perkawinan
Dengan memperhatikan kasus yang sedang dialami oleh masing-masing pasangan, dan dengan berpedoman kepada ajaran Islam tentang kehidupan perkawinan, maka konseling diberikan dengan azas-azas sebagai berikut:
1. Prinsip kebahagian seperti yang terkandung dalam ungkapan My house is my castle atau baiti jannati, haruslah mengacu pada konsep kebahgiaan seperti yang diajarkan oleh al Qur’an, yaitu falah, fauz dan sa’adah, yakni kebahagiaan dunia akhirat, kebahagiaan yang diridhai Allah, bukan kebahagiaan palsu.
2. Bahwa rumah tangga yang bahagia (keluarga sakinah) itu berdiri atas sendi kasih sayang, atau mawaddah wa rahmah.
3. Bahwa suami istri itu harus berkomunikasi atau musyawarah, menyangkut urusan mereka.
4. Bahwa rumah tangga itu ibarat kapal yang harus di nakhodai dengan hati-hati dan sabar.
5. Dalam perselisihan keluarga, kedua belah pihak harus mengutamakan kemaslahatan dari pada kemenangan.
Konselor dan Klien
Klien dari konseling perkawinan adalah orang yang memilih atau akan mengambil keputusan, yang perlu diarahkan dalam menentukan calon suami/isteri dan pasangan rumah tangga yang sedang mengalami problem komunikasi atau problem kejiwaan lainnya.
Konselor perkawinan haruslah orang yang mengerti ajaran Islam tentang perkawinan, menghayati psikologi suami isteri dan menguasai tehnik konseling.
Penutup
Dalam sistem ajaran islam,Keluarga memiliki kedudukan yang sangat penting dan merupakan cikal bakal, sumber inspirasi dan pondasi peradaban,artinya melalui keluargalah kaum muslimin mengawali derap langkah pengabdian yang sesungguhnya, mulai dari menata dirinya, agar siap memasuki jenjang perkawinan, mengelola keluarga, serta menyiapkan generasi masa depan yang mampu berkompetisi dan berakhlak mulia.Dengan mengetahui di seputar masaalah keluarga di harapkan mampu menghadapi dan mengatasinya dalam koredor tuntunan ajaran agama Islam.
Daftar Pustaka
Al Qur’an terjemahan Departemen Agama RI. Tahun 2004.
Al Hadis Shohih Bukhori.
Ahmad Mubarok. DR.H. MA Konseling perkawinan. PT.Bina Rena Pariwara Cetakan ketiga Tahun 2002.
Dadang Hawari, Prof. DR. dr. H. Marriage counseling. Balai Penerbit FK.UI.Jakarta tahun 2006.
Pedoman Nasehat Perkawinan Badan Penasehatan Perkawinan Perselisihan dan perceraian (BP.4) Pusat tahun 1985.
Pedoman Pejabat Urusan Agama Islam, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Jakarta, tahun 2005.
Langganan:
Postingan (Atom)